Selasa, 04 Mei 2010

Cerita Cappucino di Pagi Hari


''Haaaiiii, apa kabar?''
Teriakan dan jerit kecil kegembiraan langsung memenuhi udara. Para ibu muda yang baru bertemu itu tanpa ragu memeluk dan cipika-cipiki. Tantri tersenyum lebar bertemu dengan teman-teman lamanya, teman-teman semasa kecilnya.
Hm, tentu banyak yang berubah dari teman-temannya. Maklum saja, mereka bertemu ketika sudah menikah dan punya buntut. Dan, dilihat dari penampilan, mereka tentu berbeda dibanding bertahun-tahun yang lalu. Dari banyak teman yang datang, Tantri melihat gaya Citra yang tampak beda.
Citra adalah seorang ibu rumah tangga dengan dua anak. Yang beda dari Citra adalah penampilannya yang terlihat 'kinclong' dengan barang-barang branded yang menghiasi sekujur tubuhnya. Maklum, suaminya adalah seorang pejabat BUMN sukses. Untunglah, sikap Citra tak berubah. Tetap ramah dan full senyum.
Ada pula Susan, yang meski penampilannya tak 'sekinclong' Citra, punya 'jejak mewah' lewat cerita-ceritanya tentang bisnisnya yang berkembang pesat di sana-sini.
Mendengar cerita teman-temannya, Tantri hanya bergumam dalam hati. ''Hebat ya teman-temanku.''
Beberapa bulan berselang, di kantornya, Tantri kembali bertemu dengan teman lamanya. Kali ini adalah temannya sekantor yang telah mengundurkan diri. Ketika bertemu di halaman parkir kantor, Tantri sempat terkagum-kagum dengan mobil SUV terbaru yang dikendarainya. Lagi-lagi, Tantri hanya bergumam dalam hati, ''Wah, hebat ya temanku ini. Bisnisnya maju.''

**********

Satu pagi. Setelah anak-anak berangkat sekolah dan suami bekerja, Tantri menikmati hari. Kendati berkarier di luar rumah, jam kerja Tantri lebih fleksibel. Dia bisa datang lebih siang ketimbang karyawan yang punya jam kerja nine to five.
Dan, pagi itu, dengan sepotong cake lemon dan secangkir cappucino hangat, Tantri menikmati kesendirian di pagi senyap di depan televisi. Beragam acara pagi televisi berseliweran di depan mata.
Mulai dari ceramah agama yang membahas berbagai persoalan rumah tangga. Ada yang berurai air mata mengeluhkan sang suami yang mendua hingga konflik dengan orangtua. Perlahan, ingatan Tantri melayang pada keluh kesah Citra yang sempat curhat tentang kondisi rumah tangganya. Bukan bermasalah dengan suami, Citra justru merasa ada sedikit benturan dengan saudara-saudara sang suami.
Hm, berpindah saluran, Tantri berhadapan dengan gempuran infotainment yang riuh dengan pemberitaan artis yang kawin cerai, tudingan selingkuh, sampai konflik di ranah hukum yang bikin pusing.
Merasa jenuh, Tantri memilih untuk mematikan televisi. Cappucino yang tinggal separuh diisapnya perlahan. Benaknya melayang. Tanpa bisa dikendalikan, dia membandingkan kehidupannya dengan teman-temannya itu.
Pada satu hal, Tantri mungkin saja tak terlalu istimewa ketimbang teman-temannya lain. Bila dibandingkan teman-temannya yang naik mobil terkini atau mengenakan barang-barang bermerek untuk menunjang penampilan, dia boleh saja tak ada apa-apanya.
Tantri menghela napas. Sepotong cake yang telah tandas dituntaskan dengan meneguk kembali cappucinonya.
Pikirannya kembali mengembara. ''Namun, di luar urusan materi, banyak hal yang patut disyukuri,'' ujarnya masih dalam hati. ''Aku punya suami yang baik hati dan bertanggung jawab pada keluarga, anak-anak yang sehat dan cerdas, orangtua yang baik dan tanpa henti berdoa untuk anak-anaknya. Juga nikmat kesehatan yang senantiasa dilimpahi Allah selama ini.''
Tanpa terasa, bulir air mata Tantri jatuh. Ya, terkadang kita tidak mensyukuri banyak hal yang sudah ada di tangan kita dan meratapi hal-hal yang tak kita miliki.
Rasa syukur pun memenuhi benak dan jiwanya. Tiba-tiba saja hatinya terasa nyaman dan pikiran ringan. Cappucinonya pun dihabiskan segera. ''Hm, apa mungkin ini efek dari cappucino yang menyamankan?'' Entahlah. Yang pasti, ucapan syukur terus bergema dalam hatinya dan Tantri menjelang hari dengan semangat baru.
Alhamdulillah...


foto: sheknows.com

Kamis, 29 April 2010

Hujan


Hujan mengguyur deras. Gentha (10 tahun) bolak-balik melongok ke luar rumah. ''Ayah, boleh tidak Gentha mandi hujan?'' tanya si upik. Saya tahu, pertanyaan itu sengaja diajukan kepada saya, ayahnya. Sebab, seperti biasanya, ibunya sudah pasti tidak akan mengizinkan anak semata wayang kami itu mandi hujan.Orangtua memang sering melarang anaknya mandi hujan. Pasalnya, karena kedinginan akibat hujan, sering kali menyebabkan anak-anak sakit. Rasa sayang yang hadir dalam diri para ayah bunda, menjadikan mereka tidak ingin anaknya sakit lantaran hujan.

Pedahal, bagi anak-anak sendiri, mandi hujan merupakan suatu kegiatan yang sangat menyenangkan. Saya ingat benar, di masa kecil dulu, bermain hujan, berlari-larian, main bola di tengah guyuran hujan, bukan main asyiknya. Dalam diri anak-anak selalu muncul keinginan bermain dan mandi hujan. Bahkan, mereka tidak peduli bila bibirnya membiru karena kedinginan. Yang penting, mereka dapat bersukacita di tengah derasnya guyuran hujan. Saat si upik kami mengajukan pertanyaan itu, sebagai orangtua saya merasa 'tertodong'. Bagaimana menyikapinya? ''Sudah tanya ke Ibu?'' saya balik balik bertanya. ''Kalau tanya Ibu pasti tidak diizinkan,'' jawab Gentha memastikan. Ia tahu persis, bahwa ibunya tidak pernah mengizinkannya mandi hujan. ''Nanti kamu sakit,'' ujar Gentha menirukan jawaban yang selalu disampaikan ibunya ketika ia pamit mau mandi hujan.

Wajah Gentha tampak memandangku penuh harap. Sementara teman-teman sebayanya sudah menunggu di depan teras. Mereka sudah basah kuyup semua. Usia mereka rata-rata sekitar sepuluh tahunan. ''Ayo Gent, ayoo..., nanti keburu hujannya berhenti...,'' teriak mereka dengan tangan menyilang mendekap dada karena kedinginan.''Tuu, Yah, teman-teman sudah menunggu,'' rengek Gentha.Sebagai ayah, tentu saya ingin bersikap bijak. Sikap bijak itu berarti tidak akan menyalahkan larangan ibu Gentha dan juga tidak serta-merta meluluskan permintaan anak.

''Begini...,'' saya mulai mencoba menjelaskan. Saya jelaskan, orangtua melarang anaknya mandi hujan, karena mereka tidak ingin anaknya sakit. Dan sakit itu terjadi, disebabkan karena dinginnya air hujan. Apalagi jika perut kosong. Rasa dingin itu akan menjadikan anak-anak mudah masuk angin dan perut kembung. ''Jadi, kalau kamu mau mandi hujan,'' lanjut saya, ''sebaiknya perutmu tidak dalam keadaan kosong dan jangan lupa minum vitamin C. Karena vitamin C akan membuat darah kamu menjadi lebih pekat. Dengan begitu, kamu lebih tahan terhadap serangan penyakit.''

Gentha kontan menyerbu lemari makan. Ia buru-buru makan, takut hujan segera berhenti. Apalagi teman-teman yang menunggu didepan rumah sudah tidak sabar. ''Ayo Gent, cepetan ...,'' teriak mereka. ''Iyaa, aku makan dulu biar nggak sakit,'' teriak Gentha dari dalam rumah. Selesai makan dan siap bermain, hujan mulai reda. Sang Gentha kecewa karena tidak dapat mandi hujan sepuasnya. Esoknya, ketika mendung mulai pekat, ternyata ia sudah bersiap diri. Ia sudah makan dan minum vitamin. Ketika hujan mulai turun, ia langsung pamit pada kepada saya. ''Ayah, Gentha sudah makan dan minum obat, jadi boleh mandi hujan, kan?'' Belum lagi saya menjawab, ia sudah berlari menyambangi teman-temannya di luar.

(dikutip dari Republika, 2008)

Dodi Si Cookie Monster


Dodi (11 tahun) amat suka makan kue. Bangun tidur ngemil kue kering, pulang sekolah makan kue lagi. Selagi bermain, tak lupa mengantongi kue-kue yang selalu tersedia di rumah.

Aisyah (45) paham benar, Dodi butuh energi banyak. Pasalnya, anak bungsunya itu banyak polah dan gemar bermain dengan teman-temannya hingga beberapa kilometer jauhnya dari rumah. ''Masalahnya, dia itu Cookie Monster,'' keluh Aisyah. Antara kesal dan gemas, ia mengibaratkan sang anak dengan tokoh kartun Sesame Street yang gemar makan kue.

Aisyah sendiri cukup terheran-heran melihat kegemaran Dodi. Pasalnya, kata dia lagi, amat jarang anak laki-laki suka kue yang manis-manis itu. Maka Aisyah pun jadi prihatin terhadap asupan gizi yang meresap ke tubuh bocah lasak itu. Di rumah Aisyah memang selalu ada kue kalengan, kue-kue buatan rumahan yang dibeli di toko. Kue-kue itu sebenarnya bukan untuk Dodi, tapi untuk suguhan tamu. Maklumlah di rumah keluarga yang menghuni kawasan pinggiran kota Bekasi ini tak pernah sepi. Di rumahnya, Aisyah dan suami sama-sama menjalankan usaha yang melibatkan banyak tenaga kerja dan tamu.

Kata Aisyah, Dodi paling suka pagi hari. Mengapa? Sebab, itu saatnya kue-kue kalengan dikeluarkan, selotip penyegel kaleng dibuka. ''Dia yang makan pertama kali,'' ungkap ibu dua anak itu. Saking doyannya makan kue, bila dihitung-hitung, kata Aisyah, pengeluaran belanja terbanyak ada di kue-kue. Sebab, rata-rata sehari bisa habis satu kaleng kue. Menghadapi hal ini, ia mengaku kerap bingung. ''Saya baca-baca di majalah, kebanyakan makan makanan dari tepung bisa bikin anak banyak polah,'' katanya, ''Kebanyakan gula juga nggak bagus.''

Alhasil, di satu sisi ada kebutuhan menjamu banyak orang di sisi lain Aisyah ingin mengurangi konsumsi kue Dodi. Aisyah sebenarnya tak sekadar mengeluh, ia sudah berulang kali menasihati anaknya yang sudah duduk di kelas lima SD itu. Namun, nasihat itu terbukti bertahun-tahun gagal.

Pernah, ia mencoba mengubah strategi. Aisyah menyajikan lebih banyak buah-buahan dan kue. Hasilnya? Ia hanya menggeleng-gelengkan kepala. ''Yang banyak makan buah malah orang-orang saya,'' kata dia sambil menghela napas. Belum lagi, hitung punya hitung, strategi baru ini lebih mahal ketimbang yang lama.

Dengan terpaksa, Aisyah kembali 'menimbun' kue-kue kalengannya di gudang. ''Herannya, anak itu kok ya nggak ada nek (muak)-nya,'' ujarnya. Suatu hari, Aisyah kedatangan keluarganya dari Jakarta. Dari sang sepupu, ia belajar 'jurus' baru. Apa itu? ''Jangan melarang, tapi membatasi,'' ungkap Aisyah. Begini saran yang dinilainya cerdas itu. Setiap orang di rumah punya satu stoples kue, bukan kue kalengan. Masing-masing stoples diisi 90 kue kering untuk konsumsi satu bulan. Alhasil, setiap orang hanya bisa makan tiga buah kue per harinya.

''Saya minta pengertian semua orang di rumah, juga orang-orang saya,'' tutur Aisyah, ''Bukannya mau pelit, tapi ingin mendidik anak.'' Karena semua diperlakukan sama, mau tak mau Dodi setuju. Satu, dua, tiga hari, ia tampak uring-uringan. Bila kesal begitu, Aisyah menawarkan makanan lain yang ada di dapur: tahu goreng, singkong rebus, pisang, jeruk. Dengan terpaksa Dodi menyantap makanan yang tersedia.

Aisyah merasa lega. Apalagi setelah seminggu Dodi kembali ceria. ''Waktu itu saya pikir, 'Wah, akhirnya terbiasa juga,','' katanya. Namun, beberapa hari kemudian kening Aisyah kembali berkerut. Pasalnya, ia menemukan Dodi sedang asyik makan kue semprit. Padahal, setahunya kue itu bukan yang ada di stoples Dodi. Apa yang terjadi? ''Aku ngutang punya Mbak Tarti,'' jawab Dodi saat ditanya.

''Punya Dodi sendiri mana?'' kata Aisyah sambil menuju kamar Dodi. Di sana ia menemukan sebuah stoples kosong. ''Kok, dihabisin, kan belum habis bulan?''
Dodi tersenyum-senyum sambil menggeser-geser ujung ibu jari kakinya ke lantai. ''Aku ngutang dulu lima hari, terus lima lagi,'' katanya. Singkat kata, kue-kue dalam stoples Dodi sudah ludes dimakan 'di depan'. Sebab, ia melahap jatah lima hari dan lima hari berikutnya sekaligus./Aisyah lagi-lagi hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala.

(dikutip dari Republika, 2008)

foto theweirdofiles.blogspot.com

Putri Pun Berenang Kembali


Putri terdiam. Tawa riangnya langsung lenyap begitu mendengar bentakan dari sang guru renang. Dia tidak menyangka, lengkingan nyaring sang guru yang memintanya segera bilas dan mengenakan seragam kembali terdengar sangat menggelegar di telinganya.
Tak lama, pelupuk matanya sudah penuh dengan air mata. Tiba di rumah, Putri, bocah cilik berusia empat tahun itu, memilih untuk menyimpan dalam-dalam dukanya.
Hari berlalu hingga Putri pun melihat sang bunda, Lia, membenahi baju renang yang akan dipakainya di sekolah nanti. Besok adalah hari les renang di sekolah Putri.
''Putri nggak mau berenang!'' ujarnya kencang.
Lia tentu terkejut. ''Kenapa, Dek?''
''Nggak mau, pokoknya.''
Perlahan, Lia beringsut mendekat dan membelai Putri.
''Kenapa Dek? Dedek takut tenggelam?''
''Nggak...''
''Takut kedinginan?''
''Nggak,'' ujar Putri dengan nada yang makin pelan.
Pelan-pelan, wajahnya tertunduk dan bulir air mata mulai jatuh.
Lia langsung memeluknya. ''Kenapa Dek? Dedek sedih ya? Cerita dong sama bunda...''
Tanpa perlu menunggu lama, meluncur kisah tentang bentakan sang guru renang yang membuatnya sedih.
Lia berusaha tenang dan berpikir dengan kepala dingin. Dia pun memutuskan untuk bertemu dengan wali kelas Putri dan membicarakan masalah ini baik-baik.
Untunglah, sang wali kelas amat kooperatif. Dalam waktu singkat, dia mendapat konfirmasi dari sumber yang dituju. Rupanya, sang guru renang tidak pernah merasa membentak Putri. Bahkan, dia tidak ingat pernah berurusan dengan buah hati Lia.
Hhmm, sudahlah, pikir Lia. Tidak perlu diperpanjang siapa yang salah untuk masalah ini. Satu-satunya jalan adalah membujuk Putri agar mau kembali berenang dan gembira lagi.
Dan, ternyata itu bukan pekerjaan mudah. Beragam bujuk rayu, jurus mengiming-iming, hingga janji seribu rupa tak mempan untuk mengembalikan Putri bertemu dengan guru renangnya lagi. Dia pun mogok renang. Bahkan, meski itu dilakukan di luar jam sekolah.

**********************

Hari masih pagi. Kolam renang kompleks itu belum terlalu penuh. Maklum, hari itu bukan hari libur akhir pekan atau nasional. Di antara para pengunjung kolam, ada wajah ceria seorang anak yang asyik hilir mudik dengan ban renang di tangannya.
''Bundaaaa, tungguin Putri dong....''
Sang bunda yang masih asyik berenang pelan tampak berhenti dan mencari arah suara. Dia tersenyum dan mendekati sang buah hati.
Mungkin, benar kata orang. Waktu adalah obat yang tepat untuk menyembuhkan. Apalagi, tak mudah untuk menyembuhkan luka hati. Butuh waktu lama dan perlahan. Itu juga berlaku untuk Putri.
Luka hati akibat bentakan sang guru tak mudah pulih. Sepanjang sekolahnya di TK, tak ada lagi jadwal renang yang dilakoninya. Dia bersikukuh untuk tidak kembali berenang bersama teman-teman dan tentu saja sang guru renang.
Di awal SD, dia pun tak mudah dibujuk untuk kembali nyemplung ke dalam kolam. Perhatian dan kasih sayang adalah kunci untuk meluluhkan hatinya. Bujukan sang bunda dengan membeli baju renang lucu dan ban-ban renang berwarna cerah ternyata ampuh membangkitkan minatnya. Bahkan, ketika dia merengek meminta baju renang baru kendati baju renang yang lama baru berumur tiga bulan, tetap dikabulkan sang bunda. Perlahan, wajah ceria Putri yang tampak cerah ketika berada di kolam renang kembali terlihat.
Belakangan, dia justru rajin mengajak sang bunda renang meski sang bunda lebih sering ogah-ogahan atau setengah terpaksa mengabulkan permintaannya.
Kini, Putri, yang sekarang adalah murid kelas IV SD, sedang mematok target. Dia harus bisa berenang. Minimal gaya dada. Seperti bunda.


foto: bronxhouse.org