Kamis, 29 April 2010

Putri Pun Berenang Kembali


Putri terdiam. Tawa riangnya langsung lenyap begitu mendengar bentakan dari sang guru renang. Dia tidak menyangka, lengkingan nyaring sang guru yang memintanya segera bilas dan mengenakan seragam kembali terdengar sangat menggelegar di telinganya.
Tak lama, pelupuk matanya sudah penuh dengan air mata. Tiba di rumah, Putri, bocah cilik berusia empat tahun itu, memilih untuk menyimpan dalam-dalam dukanya.
Hari berlalu hingga Putri pun melihat sang bunda, Lia, membenahi baju renang yang akan dipakainya di sekolah nanti. Besok adalah hari les renang di sekolah Putri.
''Putri nggak mau berenang!'' ujarnya kencang.
Lia tentu terkejut. ''Kenapa, Dek?''
''Nggak mau, pokoknya.''
Perlahan, Lia beringsut mendekat dan membelai Putri.
''Kenapa Dek? Dedek takut tenggelam?''
''Nggak...''
''Takut kedinginan?''
''Nggak,'' ujar Putri dengan nada yang makin pelan.
Pelan-pelan, wajahnya tertunduk dan bulir air mata mulai jatuh.
Lia langsung memeluknya. ''Kenapa Dek? Dedek sedih ya? Cerita dong sama bunda...''
Tanpa perlu menunggu lama, meluncur kisah tentang bentakan sang guru renang yang membuatnya sedih.
Lia berusaha tenang dan berpikir dengan kepala dingin. Dia pun memutuskan untuk bertemu dengan wali kelas Putri dan membicarakan masalah ini baik-baik.
Untunglah, sang wali kelas amat kooperatif. Dalam waktu singkat, dia mendapat konfirmasi dari sumber yang dituju. Rupanya, sang guru renang tidak pernah merasa membentak Putri. Bahkan, dia tidak ingat pernah berurusan dengan buah hati Lia.
Hhmm, sudahlah, pikir Lia. Tidak perlu diperpanjang siapa yang salah untuk masalah ini. Satu-satunya jalan adalah membujuk Putri agar mau kembali berenang dan gembira lagi.
Dan, ternyata itu bukan pekerjaan mudah. Beragam bujuk rayu, jurus mengiming-iming, hingga janji seribu rupa tak mempan untuk mengembalikan Putri bertemu dengan guru renangnya lagi. Dia pun mogok renang. Bahkan, meski itu dilakukan di luar jam sekolah.

**********************

Hari masih pagi. Kolam renang kompleks itu belum terlalu penuh. Maklum, hari itu bukan hari libur akhir pekan atau nasional. Di antara para pengunjung kolam, ada wajah ceria seorang anak yang asyik hilir mudik dengan ban renang di tangannya.
''Bundaaaa, tungguin Putri dong....''
Sang bunda yang masih asyik berenang pelan tampak berhenti dan mencari arah suara. Dia tersenyum dan mendekati sang buah hati.
Mungkin, benar kata orang. Waktu adalah obat yang tepat untuk menyembuhkan. Apalagi, tak mudah untuk menyembuhkan luka hati. Butuh waktu lama dan perlahan. Itu juga berlaku untuk Putri.
Luka hati akibat bentakan sang guru tak mudah pulih. Sepanjang sekolahnya di TK, tak ada lagi jadwal renang yang dilakoninya. Dia bersikukuh untuk tidak kembali berenang bersama teman-teman dan tentu saja sang guru renang.
Di awal SD, dia pun tak mudah dibujuk untuk kembali nyemplung ke dalam kolam. Perhatian dan kasih sayang adalah kunci untuk meluluhkan hatinya. Bujukan sang bunda dengan membeli baju renang lucu dan ban-ban renang berwarna cerah ternyata ampuh membangkitkan minatnya. Bahkan, ketika dia merengek meminta baju renang baru kendati baju renang yang lama baru berumur tiga bulan, tetap dikabulkan sang bunda. Perlahan, wajah ceria Putri yang tampak cerah ketika berada di kolam renang kembali terlihat.
Belakangan, dia justru rajin mengajak sang bunda renang meski sang bunda lebih sering ogah-ogahan atau setengah terpaksa mengabulkan permintaannya.
Kini, Putri, yang sekarang adalah murid kelas IV SD, sedang mematok target. Dia harus bisa berenang. Minimal gaya dada. Seperti bunda.


foto: bronxhouse.org

Tidak ada komentar:

Posting Komentar